Senin, 31 Agustus 2020

Mantra Ajaib

 Mantra Ajaib

By Tek Nun


Di pagi yang cerah ini, Tek Nun tampak lebih bahagia dari hari sebelumya. Wajah cerianya menggambarkan bahwa ia baru saja terlepas dari beban berat. 


Terlihat dari lengukungan bibirnya saat tersenyum tampak kian lebar. Bicaranya lebih enjoy dan enak di dengar. Begitu juga dengan cara tertawanya. Ringan dan renyah terdengar di telinga.


Selidik punya selidik ternyata ia baru saja merilis kesalahan-kesalahan yang selama ini menggerogoti dirinya. 


"Terus bagaimana kondisi Tek Nun sekarang? Tanyamu.


"Semakin membaik dan semakin bahagia."


"Oh ya?"


"Emang apa saja kesalahan yang Tek Nun lakukan selama ini?" Tanyamu kembali.


"Salah satunya kesadaranku sering menurun."


"What? Tek Nun sakit jiwa?"


"Kalau ngomong jangan sembarangan ya. Berarti kamu tak membaca tulisan Tek Nun sebelumya. Bahwa jiwa itu tak pernah sakit. Hanya saja terhalang dan terkurung oleh hati yang kotor dan sakit

yang tidak digunakan untuk hal-hal yang baik."


"Tek, kesadaranmu menurun."


Sebuah kalimat teguran dari sang guru langsung menyadarkan kesadaran Tek Nun.


"Iya, Guru. Siap dinaikkan kembali."


Tek Nun segera mengembalikan kesadarannya dengan mengucapkan mantra ajaibnya.


"Aku ikhlas seikhlas-ikhlasnya jika semua yang aku alami menjadi berlian dalam kehidupanku dan inspirasi bagi sesama."


Tanpa disadarinya aura kebahagiaannya kembali memancar kewajahnya. Pikiran yang tadinya abu-abu sekarang sudah mulai jernih. Dan kalbu yang tadinya berada di posisi kalbu marit, mulai bergeser menuju kalbu salim.


Semakin ke sini, binar-binar di wajah Tek Nun kian kelihatan. Dan kesalahan demi kesalahan mulai berguguran bak embun pagi ditempa sinar matahari. 


Jika kesalahan bisa digugurkan dengan pengakuan, kebahagiaan merupakan tujuan kehidupan, bagaimana agar keduanya bisa dijadikan titian menuju pintu ampunan?








Sabtu, 29 Agustus 2020

Senja Istimewa 3

 Senja Istimewa (3)

By Tek Nun


Tetaplah berprasangka baik walau faktanya tak selalu baik.


"Kalbu ini sesuatu yg menentukan baik buruknya jiwa ya, Guru? Tanya Mba Husnul dengan semangat.


"Bukan baik buruknya dirimu, tapi dia bisa menghalangi kedamaian jiwamu," jawab sang guru dari depan.


Tek Nun yang masih mengunyah materi secara pelan langsung kaget. 


"Bahaya juga ya kalau seandainya kalbu sudah masuk kategori kotor dan mati?" Ucap seseorang di sampingnya.


"Pastinya. Makanya buruan perbaiki." Ucap Tek Nun sambil terus memperhatikan penjelasan sang guru.


"Dan kalbu bisa kotor," ucap Tek Nun spontan.


"Yes," jawab Pak guru.


Anggota kelas semakin tersulut semangatnya mendengarkan penjelasan sang guru. 


"Banyak sekali di antara kita yang tidak clear antara jiwa dan kalbu. Jiwa itu merupakan suara terbaik dari kalbu dan akal."


"Juga tempat bersemayamnya damai, cinta, dan kasih."


"Sementara, akal itu trafo atau power yang menghubungkan nur manusia dengan nur Allah." Begitu penjelasan sang guru panjang lebar.


"Bagaimana dengan 'sakit jiwa' Guru? Apakah ini berpangkal dari hati yang kotor?" Tanya Tek Nun tampak serius.


"Itu salah kaprah."


"Yang betulnya apa, Guru?"


"Jiwa tidak sakit. Tapi terhalang dan terkurung oleh hati yang kotor dan sakit. Orang gila itu hilang akal. Akal yang terputus dan tidak digunakan bisa rusak."


Mendengarkan penjelasan sang guru, tiba-tiba rasa hausnya mendadak menyerang.


Selama ini yang ia pahami, bahwa orang gila itu sama dengan orang sakit jiwa. Ternyata jiwa tak pernah sakit. Yang ada itu akal yang sakit, kotor, bahkan hilang dari peredaran.


"Ha ha ha," spontan, Tek Nun tertawa sendiri.


"Awas!"


"Napa lo, kau kira aku hilang akal apa?" Bentak Tek Nun pada seseorang.


"Tenang, tenang jangan ribut," ucap sang guru mencoba menenangkan siswanya.


"Bagaimana dengan orang kesurupan, Guru?"


"Hilang akal."


"Tetapi secara prilaku keduanya berbeda, Guru."


"Nah perilaku itulah yang lahir dari jiwa."


"Agama hanya untuk orang yang berakal. Bukan untuk orang yang berhati. Tolong resapi dan pahami itu."


Semua yang ada di kelas manggut-manggut. Pertanda apa yang disampaikan sang guru sudah semakin dipahami. 


Teeeeeng...


Lonceng istirahat berbunyi. Guru dan siswanya keluar kelas dan istirahat sejenak. 


Bersambung!


Senja Istimewa 2

 Senja Istimewa (2)

By Tek Nun


Jika menulis adalah sedekah, mengabadikan kisah hidup salah satu bentuk hadiah, mengapa tak menjadikan keduanya sebagai ajang untuk menggapai kehidupan yang lebih berkah?


"Lancar banget nulisnya, Tek Nun?" Gimana cara memulainya?" Tanyamu dari seberang sana.


"Oh ya? Ngg lancar-lancar banget, sesekali ada tersendatnya juga tuh."


"Kalau aku lihat lancar sepertinya, bagi tipsnya dong, Tek Nun."


"Serius?"


"7 rius, Tek Nun. Kalau ngg cukup bisa kita naikkan jadi 21 rius," ucapmu penuh semangat.


Mendengar suaramu yang powerfull dan semangat, Tek Nun pun ikut kecipratan semangat 45.


"Ok ok, nanti diabari. Tek Nun tunaikan dulu hutang hari kemaren ya," ucap Tek Nun sambil terus bergelut dengan keyboard laptopnya.


"Oh ya Cak, sampai dimana cerita Tek Nun kemaren?"


"Tek Nun bertanya ke saya?"


"Ngg. Nanya sama dinding."


" he he he...nyicil kesalahan diri lagi ya, Tek Nun😁"


"3 pengelompokkan kalbu, Tek Nun," sorak seseorang dari seberang.


"O iya."


Tek Nun mulai serius. Ia raih gelas minuman coffeemixnya kemudian meneguknya beberapa tegukan.


"Kalbu itu terbagi 3;

Kalbu Marit

Kalbu mayyit

Kabu salim.


"Tunggu Tek Nun, apakah kalbu sama dengan hati?"


"Yes. Bahasa Indonesianya kalbu itu hati," begitu kata sang guru memberikan penjelasan kemaren.


"Sampai di sini ada paham?"


"Paham, Tek Nun. Kalbu itu artinya hati. Tapi perbedaan ke tiganya bagaimana, Tek Nun?"


"Pelan-pelan, Coy. Ntar rambutmu rontok lo."


"Iya iya."


Tek Nun juga tampak semakin mengerti tentang materi yang diberikan sang guru. Selain membaca berulang-ulang sekaligus memberikan kepada orang lain. Inilah hakikat dari menulis yang sesungguhnya. Bahwa menulis itu adalah sedekah. Lebih tepatnya edekah ilmu.


"Asyik, dapat sedekah ilmu dari Tek Nun."


"Tapi akan lebih asyik jika kamu ikutan masuk kelas. Kamu akan dapat lebih dari sekadar ilmu."


"Iya sih. Cuma aku sekarang lagi sibuk. Takut tak bisa mengikuti dengan fokus."


"Sibuk? Emang kamu aja yang kerja. Kamu kira mereka yang ikut kelas generasi rebahan apa?"


"Mulai lagi deh Tek Nun, menyicil kesalahannya. Sekarang pointnya cepat emosi."


Tek Nun semakin sadar akan kesalahan yang ada pada dirinya. Semakin ia berbicara dan bersikap semakin keluar kesalahan-kesalahan yang menempel dalam dirinya. Seperti percakapan barusan, ia cepat sekali tersulut emosi.


Ok, Sobat kita lanjut mengenai pembagian kalbu tadi. 

• Kalbu Marit itu hati yang kotor dan sakit

• Kabu mayit hati yg mati

• Kalbu Salim hati yang selamat

Semua yang mendengar terkagum-kagum dengan penjelasan Tek Nun tentang pengelompokkan hati. Sebagian ada yang merasa khawatir. Khawatir kalau masuk pada kategori hati yang kotor dan hati yang mati.


"Kenapa tiba-tiba ekspresi lo berubah seperti orang ketakutan?" Tanya Tek Nun pada salah satu temannya. 


"Khawatir kalau masuk kategori hati yang kotor dan sudah mati."


"Makanya jangan sering berpikiran dan berperasaan negatif jika kalbumu tak mau kotor."


"Jadi kalau suuzhon mulu itu pertanda hati kotor ya, Tek Nun?"


"Salah satunya begitu. Makanya tetaplah berprasangka baik walau faktanya tak selalu baik."


Ok, Sobat. Silakan kunyah-kunyah ini dulu sambil menikmati cemilannya. Nanti kita lanjut dengan pembahasan yang lebih brilian lagi.


Bersambung!

Senja Istimewa

 Senja Istimewa (1)

By Tek Nun


Senja bukanlah akhir dari sebuah hari, namun bisa saja awal dari lahirnya sebuah inspirasi.


Senja kali ini bukan senja biasa, namun senja istimewa yang membuat jiwa kian bahagia. 


"Ehemmm, cie cie," ucap Cicak dengan naluri keponya.


Tek Nun tak merespon reaksi Cicak yang terkesan menggoda. Walau dalam hatinya, "emang gue pikirin. Iri aja ndiri," ucap Tek Nun dengan jiwa bapernya.


Ia terus fokus terhadap materi yang baru saja dipaparkan sang guru. Ilmu baru sekaligus ilmu tingkat tinggi.


"Ilmu tingkat tinggi? Ilmu apaan itu, Tek Nun? Lagi belajar manjat tiang listrik ya?" Tanya Cicak kembali dengan jiwa keponya.


"Tiang listrik? Kalah tinggi itu mah?"


"Kalah tinggi? Atau manjat jam gadang?"


Lewaaattt...


Tek Nun kembali fokus ke kelasnya. Cicak yang masih melongo ditinggalkan begitu saja. 


"Kita punya tubuh fisik dan nonfisik. Tubuh fisik namanya jasad. Tubuh nonfisik namanya ruh. Dan setrum atau actionnya namanya jiwa," ucap sang guru pelan.


Tek Nun memahami kata demi kata. Dibacanya secara berulang-ulang. Agar bisa memahami ucapan sang guru. Kemudian mencatat kembali apa yang diucapkan gurunya,

Jasad

Ruh

Jiwa


Sambil membaca ia coba memahami dengan pelan. Ia resapi sampai ke3 kata tersebut hafal di luar kepalanya. 


"Dan jiwa itu sendiri adalah aksi atau energi gerak terbaik yang menjembatani ruh dan jasad."


Satu kalimat kembali meluncur dari mulut sang guru. Dan levelnya naik satu oktaf. Tek Nun berusaha tenang dan mencoba mengunyahnya perlahan. 


"Ngunyahnya 33x, Tek Nun. Biar gampang nelannya," ucap Cicak dari kejauhan.


"Resek amat, Lo. Bisa diam ngg?" Akhirnya Tek Nun mengeluarkan satu persatu kesalahannya.


"Jiwa beda dengan ruh. Ini harus clear agar nyanyian jiwa Anda bisa dijadikan teks ajaib," ucap Coach kembali meyakinkan.


Tek Nun mulai kewalahan. Terlihat dari kerutan di dahinya. Awalnya satu kerutan sekarang sudah bertambah menjadi 3 kerutan.


"Dan jiwa beda dengan kalbu. Jiwa bisa bernyanyi ruh tidak. Camkan ini," sambung sang guru.


Merasa adrenalinnya kian terpacu, Tek Nun butuh pasokan energi baru. Ia raih air minum yang ada dalam gelas tupperware warna hijau kemudian meminumnya beberapa teguk. 


"Udah paham belum, Tek Nun? Jangan hanya mangguk- mangguk doang?" Sebuah suara memecah konsentarsinya.


"Iya, ini lagi berusaha memahami."


"Gimana cara memahaminya?"


"Dengan membaca secara berulang-ulang sampai 3x, atau bahkan sampai 33x."


Sambil terus memahami, Tek Nun kembali mencatat butiran berlian di senja istimewa kali ini.


Kalbu

Jiwa

Roh

Jasad


Keempat kata di atas memiliki pemahaman yang berbeda. Kalbu itu filter antara pikiran, perasaan, dan nafsu. Lebih tepatnya kalbu itu penyaring menuju kedamaian jiwa. 


Nah, untuk bisa mencapai kedamaian yang diinginkan, kita harus mengetahui 3 pengelompokkan kalbu.


Anda ingin tau?


Bersambung!