Selasa, 18 Februari 2020

Misteri Bahagia

PEMBUNUH TAK BERWAJAH (Part 21)

Misteri Bahagia
By Noer Cakrawala

Semua orang berhak untuk mendapatkan kesempatan kedua. Tetapi tidak untuk kesalahan yang sama.

Sepulang dari makam neneknya, Noe langsung menuis daftar nama orang yang akan diwawancarai berikutnya. Dengan membubuhkan tanda tanya di ujung nama tersebut?

Kenapa?

Karena pencarian akan terhenti sejenak. Ini dilakukannya demi sebuah cita-citanya. Sekaligus cita-cita neneknya ketika masih hidup.

Mati-matian neneknya memperjuangan agar dirinya bisa sampai ke perguruan tinggi. Sampai-sampai sepetak sawah direlakan untuk digadaikannya. Demi apa? Demi terwujudnya impian Noe.

Jika mengenang perjuangan neneknya, semangat Noe kian menggebu-gebu. Tak mau
menyia-nyiakan apa yang telah dikorbankan neneknya. Tak mau menjadi anak yang tak tau rasa terima kasih. Apalagi menyia-nyiakan kesempatan emas ini.

"Yakin ngg mau diantar, Ayah?" Tanya ibunya.

"Ngg usah, Bu. Ntar Ibu sama siapa di rumah?"

"Sehari dua hari ngg apa-apa."

"Ngg usah Bu. Biar aku sendiri aja. Insyaallah aman."

Noe beranjak ke kamar mandi. Handuk warna ping menjuntai di bahu sebelah kanannya. Sebelum masuk kamar mandi mampir dulu di meja makan mengintip masakan ibunya.

Sepiring goreng ikan danau di Ateh menyeruak melalui sela-sela bulu hidungnya. Pergedel kentang dengan warna kecoklatan tampak begitu menggoda. Tak lupa kerupuk jengkol balado seakan melambai-lambai ke arahnya.

"Sana mandi dulu, setelah itu kita makan bareng," ucap ibunya.

"Siap Mande," ucap Noe dengan panggilan kesayangan kepada ibunya.

Ibunya sengaja memasak masakan kesukaan anak semata wayangnya. Karena ia sudah terbiasa dimanjakan dengan masakan yang enak-enak oleh neneknya. Walau sederhana, tapi mereka mensyukurinya lebih dari cukup.

"Noe mana?" Tanya ayahnya tiba-tiba.

"Itu masih dikamar mandi."

"Lama banget."

"Ngg. Baru mandi dia."

"Yakin dia ngg mau diantar, Bu?" Tanya ayahnya denga nada khawatir.

"Katanya ngg apa-apa sendirian."

"Tapi ayah sedikit khawatir, Bu."

"Ibu juga. Tapi dia nampaknya yakin sekali, Yah."

"Ya udah, Bu. Kita doakan saja. Mudah-mudahan ia benar-benar udah kuat.

"Ya, Yah."

Suasana di meja makan pagi ini begitu bahagia. Senyum dan tawa tampak menghiasi bibir mereka bertiga. Walau ayah dan ibu Noe sedikit menyiratkan ke khawatiran di wajahnya. Namun melihat semangat Noe, mereka pun ikut bersemangat.

"Enak masakan Ibu, kalah jauh masakan restoran," puji Noe.

"Setuju...masakan ibu tiada duanya," ayah ikut menimpali.

"Iya dong. Siapa dulu chefnya...muridnya chef Juna," jawab ibu Noe dengan senyum bahagia.

"Ngg jadi ah. Chef Juna dibanggain," ayah tampak tak setuju.

"Lha, emang kenapa, Yah?" Ibu balik bertanya.

"Masa mengomentari masakan sadisnya melebihi pertanyaan polisi kepada seorang pembunuh," rutuk ayah Noe.

Tung
Tang

Noe terkejut. Seakan ia memyaksikan polisi sedang memaksa terdakwa pembunuh neneknya menjawab beberapa pertanyaan. Seakan ia menyaksikan di depan matanya pelaku menunduk sambil menjawab pertanyaan dari penyidik kepolisian.

"Apa-apan ini?" Dalam hati Noe.

Noe menghentikan secara paksa pikiran anehnya itu dengan cara meminum setengah gelas air putih. Ia tak mau ayah dan ibunya mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.

Sementara ibunya tertawa riang mendapat komentar dari suaminya. Ibunya merupakan salah satu penggemar acara Master Chef yang ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta RCTI setiap hari sabtu dan minggu sore.

Seperti hari minggu kemaren, masakan yang dibuat ibu Noe hampir sama dengan masakan yang di buat oleh peserta master chef, gado-gado. Masakan kesukaan ayahnya Noe. Masakan yang didominasi sayur-sayuran.

Ayah dan ibunya asyek bercengkrama hingga tak sadar sudah 1 kali nambah. Beda dengan Noe, pikirannya masih dipenuhi dengan misteri kematian neneknya.

Sambil menyelesaikan suap demi suap makanan di piringnya, Noe terus memikirkan bagaimana cara mengungkap misteri itu. Bisakah ia melakukan sendiri atau minta bantuan kepada orang lain? Tapi kepada siapa?

Bermacam pertanyaan menyerang kepalanya. Hingga membuar selera makannya menurun. Padahal masakan ibunya sangat enak dan menggugah selera.

"Ayo nambah," ucap ayahnya sambil menuang nasi satu sendok ke piring Noe.

"Ayaaaah..." sorak Noe. Karena tangannya kalah cepat dari tagan ayahnya untuk menggeser piringnya.

"Makanya, kalau makan jangan ngelamun," ibunya ikut menimpali.

Ayahnya tampak bahagia karena berhasil menuang nasi ke piring Noe. Mau tak mau, Noe harus menghabiskannya. Padahal ia sudah kenyang.

"Ayo cepat dihabisin. Sudah hampir pukul sembilan," ucap ibunya.

"Ayah jahat."

"Kok jahat? Itu salah satu bentuk ungkapan sayang seorang ayah kepada anaknya. Biar anak ayah gemukan dikit," ucap ayah Noe sambil tersenyum puas.

"Ngg mau gemuk. Ini aja beratku udah nambah sekilo."

"Nah, bagus itu."

Ibunya Noe bahagia sekali melihat anaknya begitu akrab dengan ayahnya. Sudah lama sekali ia tak melihat suasana seperti ini. Bahagia itu sederhana. Dengan melihat mereka akrab sudah lebih dari segalanya.

Bahagia itu sederhana. Sesederhana kamu mensyukuri apa yang kamu punya.

#menulisitusedekah
#membagienergicinta
#menebarvirusbahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar