Selasa, 18 Februari 2020

DPO

PEMBUNUH TAK BERWAJAH (Part 20)

DPO
By Noer Cakrawala

Bila keraguan mulai melanda, ambillah waktu sesaat untuk berdo'a.

Cuaca hari ini sangat cerah. Tetapi tidak untuk hati Noe. Suasana hatinya kian berkecamuk. Antara tetap di rumah untuk terus melanjutkan pencarian bukti atas kematian neneknya, atau pergi ke padang meneruska pendidikan yang telah sebulan lebih ia tinggalkan. 

Hati Noe mulai berperang. Bak makan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Noe dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. 

"Gimana, Nak? Yakin mau ke Padang hari ini?" Tanya ayah Noe.

"Insyaallah, Yah,"jawab Noe sambil meletakkan segelas kopi hangat untuk ayahnya.

Ingin rasanya Noe bercerita banyak tentang apa yang telah ia lihat dan dengar kepada ayah dan ibunya. Tentang sebuah pisau berlumur darah yang ia temukan di kamar neneknya. Juga tentang apa yang ia dengar langsung dari PakWo di pos ronda siang kemaren. Yang terbaru seperti yang ia lihat di ruang tamu kemaren. 

Namun, Noe tak mau menambah beban pikiran ayah dan ibunnya, sekaligus keluarga besar neneknya. Sekilas mereka telah menerima kepergian nenek dengan ikhlas. Walau terasa berat dan mendadak.

"Atau ayah temani aja ya, Nak," ucap ayah dengan nada suara khawatir."

"Ngg usah, Yah. Insyaallah aku udah kuat. Kalau ada apa-apa, ntar aku kabari," ucap Noe berusaha meyakinkan ayahnya.

Semenjak kematian neneknya, Noe begitu merasakan kedekatan diantara anggota keluarganya. 

Ayahnya sudah tak kerja di luar lagi. Warung yang awalnya digunakan untuk berjualan rempeyek oleh nenek sekarang sudah disulap menjadi warung untuk kebutuhan sehari-hari. Mulai dari beras, telur, gas, dan kebutuhan lainnya. 

Ayah Noe juga sudah banyak di rumah. Kalaupun keluar itu hanya ke pasar besar untuk berbelanja kebutuhan warung. Ayah Noe semakin gesit bekerja. Tidak seperti saat nenek masih ada.

Noe kembali merasakan kehangatan dalam keluarganya. Ayahnya sudah kembali berperan sebagai ayah yang di idam-idamkan semua anak di dunia. Tidak lagi seperti yang dulu-dulu. Perginya pagi, dan pulang sudah larut malam. 

"Bentar ayah tinggal dulu, sepertinya ada orang yang mau belanja," ucap ayah Noe sambil memyeruput kopi hitamnya.

"Ya, Yah."

Noe tinggal sendirian di ruang keluarga. Sementara ibunya sibuk di dapur. Ditinggal sendiri, Noe menghampiri ibunya yang masih sibuk memasak untuk persiapan sarapan pagi. 

"Mau berangkat jam berapa?" Tanya ibunya Noe.

"Jam 9 aja, Bu."

"Ya udah, siap-siap sana. Biar ini ibu aja yang beresin ini."

"Aku bantu cuci piring dulu, Bu?"

"Ngg usah. Ini cuma leralatan masak," nyambi masak juga bisa," ucap Ibunya Noe.

Noe kembali ke kamar untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat ke Padang. Beberapa lembar pakaian ia masukkan ke dalam tas ransel warna coklat. Sementara bekal berupa makanan dimasukkannya ke dalam tas tangan. 

"Bu, aku boleh takziah dulu ngg ke makam nenek? Tanya Noe kepada ibunya.

"Boleh, ntar ibu temani," ucap ibunya menawarkan diri.

Noe pergi bersama ibunya. Makam nenek tidak terlalu jauh. Hanya berjarak sekitar 500m dari rumahnya. Tepatnya di samping rumah Tek Nda. Sepetak tanah yang dibeli nenek yang khusus diperuntukkan untuk makam keluarga.

Noe pergi ke makam bersama ibunya dengan mengendarai motor vario. Tak lupa membawa bunga untuk di tabur di makam neneknya. Sementara ibunya membawa buku kecil yang isinya doa-doa untuk almarhum.

Tak menghabiskan waktu sepuluh menit, Noe dan Ibunya hampir sampai di lokasi. Satu belokan lagi sudah kelihatan rumah Tek Nda dan makam nenek. Namun di pinggir jalan, ia melihat dua orang yang sudah tidak asing lagi. Pak Etek dan tukang ojek lagi asyik berbincang-bincang.

Sekitar lima langkah lagi mendekati mereka, Noe mengerem mendadak. Sehingga ibunya yang duduk dibelakang badannya terhuyunng kuat ke depan. 

"Hati-hati, Nak," ucap ibunya sambil memegang bahu Noe.

"Iya, Bu." Jawab Noe singkat sambil melihat sosok di ujung jalan depan. 

"Itu ada Pak Etek," ucap ibunya menunjuk ke arah depan. 

"Iya, Bu."

"Ayo cepat."

"Ya, Bu." 

Noe semakin tak habis pikir apa yang ada dihadapannya. Ia masih bertanya-tanya apa yang barusan ia lihat. Ia masih yakin, bahwa peristiwa neneknya meninggal pasti ada penyebabnya. Apalagi ia juga dapat cerita dari ayahnya. Bahwa saat jasad neneknya hendak divisum, Pak Eteklah yang bersikeras melarangnya. Sampai saudara laki-laki nenek, yang akrab dipanggil "Inyiak" marah kepadanya. 

"Ada apa ini? Aku harus menemui tukang ojek itu," tekad Noe.

Satu orang lagi masuk ke dalam daftar pencarian orang yang akan diwawancarainya. "Tapi kapan?" Begitu Noe bertanya pada dirinya sendiri. Sementara hari ini ia harus kembali ke Padang untuk melanjutkan kuliahnya. 

Kemaren adalah nyata, hari ini adalah pilihan, esok adalah misteri.

#virusbahagia
#menulisitusedekah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar