Minggu, 14 Juli 2019

Niat Hati Memeluk Gunung Apa Daya Tangan Tak Sampai

*Niat Hati Memeluk Gunung Apa Daya Tangan Tak Sampai*
*By Noer*

Aufa adalah seorang siswa di salah satu SMP negeri di kampungnya. Sudah duduk di kelas IX. Tinggal menghitung hari untuk mengikuti ujian nasional.

Prestasinya memang tak begitu menonjol. Biasa-biasa saja. Namun ia rajin dan tekun. Tak pernah sekalipun ia ber masalah tentang nilai atau pun sikap. Ya, termasuk siswa yang patuh dan rajin.

Namun belakangan ini, ia tampak murung. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Sakit? Bukan. Ia masih tetap sekolah. Namun setiap pembelajan berlangsung konsentrasinya agak terganggu. Sering ia dapat teguran dari sang guru.

"Aufa. Apa kamu paham yang saya jelaskan tadi", sapa Pak Zam guru agama.

"Aaapa, Pak?" Ia kembali bertanya.

Tak satupun materi yang singgah di kepalanya. Masuk telinga kiri keluar lagi ke telinga kiri. Tak ada yang nyangkut.

Elya sebagai kawan akrabnya heran. Untuk bertanya ragu. Takut akan disangka terlalu ikut campur urusan pribadinya.

Semakin ia perhatikan Aufa semakin galau. Elya semakin tak tega melihat teman akrabnya.

"Aufa, temanin aku ke toilet bentar," ajak Elya.

Aufa mengangguk tanda setuju. Tanpa menjawab sepatah katapun. Kemudian mengikuti Elya dari belakang.

Elya berniat mengulik informasi kenapa ia begitu berbeda. Tak seperti biasanya. Periang dan pandai berkawan. Kadang juga usil.

"Tunggu aku bentar ya," sorak Elya sambil membanting pintu kamar mandi.

Prak

Aufa menunggu di luar sambil mencabik-cabik lembaran daun bunga bougenvil yang ditata di di sisi toilet. Sepertinya ia melepaskan gundah hatinya.

"Sini, ada sesuatu hal yang ingin gua sampaikan," Elya menarik tangan Aufa sedikit memaksa.

Aufa terpaksa mengikut di belakang. Walau sebenarnya hatinya menolak.

"Maaf, jika lancang. Sejak kapan kamu makan goreng lidah burung kutilang", tanya Elya menatap Aufa.

"Maksudmu?"

"Aku perhatikan beberapa hari ini lidahmu sangat kaku. Atau sariawan ya?"

Berbagai macam pertanyaan aneh dilontarkan Elya. Agar Aufa mau bercerita. Akhirny usik punya usik Aufa bercerita. Apa sesungguhnya yang menimpanya.

Orang tuannya menjodohkannya dengan anak saudara tetangganya yang bekerja sebagai pedagang kain. Sudah mandiri dan memiliki sepetak toko pemberian orang tuanya.

Ting
Ting

Belum selesai bercerita, bel tanda masuk telah berbunyi. Namun Elya sengaja menunda masuk kelas beberapa saat, demi mendengar curhatnya Aufa.

Juan nama pemuda itu. Orang ketiga yang hadir sebagai pengacau masa remaja Aufa. Jauh di lubuk hati Aufa yang paling dalam, sedikitpun tak menyukai Juan. Ia masih ingin melanjutkan sekolah.

Tapi apa hendak dikata. Pola pikir orang tuanya yang masih kampungan. Hingga membuat ia tak bisa berkutik. Jika ia menolak pinangan Juan, siap-siap dibuang dari keluarga.

Ini yang menjadi beban bagi Aufa. Ia tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi umurnya yang baru seumur jagung, darah pun baru setampuk pinang.

Tak bisa ia mencarikan solusi atas permasalahannya. Kedua orang tuanya tetap pada pendirian.

Egois?

Entahlah. Hanya tuhan dan dia yang paham.

#JeniusWriting
#vinta
#vibah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar