Minggu, 14 Juli 2019

Antara Ada dan Tiada

*Antara Ada dan Tiada*
*By Noer*

Sedang asyik-asyiknya ngobrolin Umar dan Samsul, tiba-tiba Pak Ujang tergopoh-gopoh masuk kelas. Hingga lupa mengucapkan salam. Apalagi menyapa muridnya.

Aduhhh...

Lyza dan Umar yang lagi asyik ngobrol di belakang pintu mengaduh kesakitan. Karena Pak Ujang mendorong pintu dengan kekuatan yang bercampur emosi.

Mendengar ada suara orang kesakitan, Pak Ujang menoleh ke arah sumber suara. Tanpa menggubris sedikitpun kemudian ia berlalu begitu saja.

Tanpa ba bi bu, Pak Ujang melempar pertanyaan tentang pendengaran.

"Apa warna pendengaranmu?"

Mendengar suara Pak Ujang, seketika semua muridnya berhamburan ke dalam kelas. Dan langsung menjawab dengan lugas.

"Orange. Orange yang kreatif dan kaya imajinasi", aku menjawab sesuai hijab yang aku pakai.

"Warna pendengaranku hitam bagai bayangan, kelihatan tapi tidak kedengaran. Seperti kedatangan coach", jawab Helda.

Karena saking seriusnya ngobrol, ia tak melihat Pak Ujang melintas di depannya.

"Pendengaranku berwarna bening air."

Dalam keheningan suara Eko terdengar menggema. Rupanya  ia menjawab pertanyaan Pak Ujang dari luar, nyaut dari jendela.

Semua sibuk dengan tugasnya masing-masing. Tapiii... tiba-tiba sosok Pak Ujang menghilang. Warga kelas ribut mencari sosok Pak Ujang.

"Sepertinya tadi bukan coach bundo," ucap Helda pada Darma dengan mimik ketakutan.

"Lha trus siapa mbak ??" Suara Titin bergetar.

"Samsul mungkin," Lyza menimpali.

"Jangan jangan...," Helda semakin ketakutan.

"Pak Ujang ngumpet di mana?" Oom mencari keberadaan beliau sampai ke kolong meja.

"Mengapa anda masih bisa mendengar sampai detik ini?
Bagaimana caramu menjual pendengaranmu?

Suara Pak Ujang mengagetkan Oom. Begitu juga dengan yang lain. Tak pernah Pak Ujang seperti ini. Hingga menimbulkan pertanyaan bagi muridnya.

"Karena anugrah yang luar biasa dari sang pencipta. Ia berikan kesempatan pada kita untuk mendengar. Agar pendengaran yang diberikanNya bisa dimanfaatkan untuk mendengar hal yang baik-baik."

"Dengan cara mendengarkan hal2 yang baik dan tak lupa pula menyampaikan hal yg baik itu pada orang lain. Agar pendengaran kita terasa manfaatnya."

Aku langsung menjawab pertanyaan dari pak Ujang dua sekaligus. Karena takut dia ngilang lagi.

"Kapan sebenernya anda betul betul mendengar dengan hati?"

"Saat hati mengalami problem. Saat itu perlu menggunakan hati untuk mendengar. Agar apa yang kita dengar betul2 hal yang patut didengar. Karena mendengar dengan hati jauh lebih bening dari pada mendengar dengan telinga."

"Apa saja sih yang sebaiknya anda dengar?"

"Tentunya hal2 yang baik dan yang bermanfaat".

"Berapa harga pendengaraanmu?

"Aduh...harga pendengaranku ditanya lagi. Ngg bakalan gua jual".

Aku agak tersinggung sebenarnya. Sudah berulangkali aku sampikan. Bahwa hal-hal yang berkaitan dengan diri, aku tak akan pernah menjualnya. Namun Pak Ujang seperti seringkali melakukan hal yang sama.

Hingga aku bertanya-tanya dalam hati. Apa Pak Ujang juga seorang pedagang? Pedagang apa? Jangan-jangan penjual bakso yang bahan dasarnya telinga manusia?

Upsss...

"Hati-hati lho bicara. Kedengaran sama Pak Ujang tau rasa lo", ucap pedengaranku berbisik.

"Biarin. Emang gua pikirin. Yang penting gua nulis. Ea ea", ucapku  sambil nyengir.

Tapi sepertinya Pak Ujang mendengar pembicaraanku. Karena tampak ia melirikku dengan sudut mata kiri. Melirik dengan sudut mata kiri menandakan orang itu tidak menyukai kita.

"Yakin lo", jilbab orange ku bertanya.

"Yakin ngg yakin sih".

"Apa hubungan antara pendengaranmu dan tulisanmu?"

"Dengan mendengar, banyak hal yang bisa ditulis. Sehingga ide tak saja parkir apalagi mangkir."

"Lalu, apa  saja  yang akan kau katakan pada pendengaranmu?"

"Pendengaranku yang jenial. Mulai dari sekarang dan seterusnya aku akan menggunakanmu menjadi sumber inspirasiku. Apapun yang kau lakukan akan aku jadikan sebuah tulisan. Dan akan aku sedekah pada pembaca yang selalu merindukan tulisanku."

"Apa nama terbaik untuk pendengaran berlianmu?"

"Jenial, dong". Jawabku dengan bangga.

Semua pertanyaan telah selesai dilempar Pak Ujang. Dengan menyuruh muridnya mengucap hamdalah. Namun sepertinya wajah beliau tampak kusut
Tak seperti biasanya.

"Yang sudah selesai silakan bertanya."

Saatnya kami muridnya menghujam Pak Ujang dengan berbagai macam pertanyaan.

Eko, Darma, Noer, Titin, Lyza, Jauharoh.

Namun semua pertanyaan tak ada yang mengena di hati beliau. "Kalian jangan manja dong. Buatlah pertanyaan cerdas". Begitu beliau menanggapinya.

"Awas, singa Pak Ujang mulai beraksi ", ucapku dalam hati.

"Kalau aku singa, masalah buat lo?" Beliau menghampiriku.

Aku ogah dengan tatapan tajamnya. "Emang gua pikirin." Semakin beliau melotot semakin aku penasaran.

Ea
Ea

#JW45
#Tanggadramatik
#Menulisitusedekah
#Menulisdenganbahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar