Minggu, 14 Juli 2019

Tak Bisa Dipercaya

*Tak Bisa Dipercaya*
*By Noer*

Melihat Umar dan Samsul bertengkar, hati ini terasa di cabik-cabik. Apa yang harus aku lakukan? Berpihak kepada Samsul atau Umar?

Aku masih berdiri kaku di depan pintu. Menyaksikan Umar berdiri setelah ditinggal Samsul dengan kata-kata setajam silet. Aku tak menyangka Samsul akan setega itu. Padahal mereka berdua adalah kawan akrab bila dibandingkan dengan Budi dan Yudi.

Tega-teganya Samsul membuka aib orang tua Umar yang selama ini ia tutup rapat-rapat. Jangankan semut, angin saja tak ia biarkan masuk. Begitu ia menjaga agar tak ada satu pun yang mengetahui rahasia orang tuanya.

Sekarang, Samsul yang telah ia anggap sebagai orang yang paling ia percaya, tega mengumbarnya di depan teman-temanya. Sebagai teman curhatnya ia membobol pintu rahasia itu.

Umar masih tak percaya atas apa yang barusan diucapkan Samsul. "Sungguh tega kau, Samsul", ucap Umar lirih.

Aku mencoba berjalan beberapa langkah mendekati Umar. Namun tampak Umar berjalan ke arah kanan mendekati Titin yang sejak tadi sudah melirik-lirik ke arah Umar. Aku menyaksikan dengan mata telanjangku mereka berjalan berdua menuju kantin sekolah.

Hancur hati ini semakin tak terkira. Tak tau apa yang harus dilakukan. Akhirnya aku balik kanan dan  kembali ke dalam kelas.

"Apa warna pendengaranmu?" Sebuah suara memaksaku untuk mendongakkan kepala. Sebuah suara yang tak asing lagi aku dengar.

"Apa-apaan ini. Jangan ganggu aku. Tinggalkan aku sendiri," ucapku sedikit emosi.

"Tenang sobat. Dunia ini bukan milikmu. Jadi tak perlu sedu sedan itu," ucap suara itu.

"Orange. Orange yang kreatif dan kaya akan imajinasi," jawabku pelan.

Aku semakin tak habis pikir. Semakin ke sini Umar semakin sulit dipahami. Aku mau dia berterus terang. Sakit rasanya dipermainkan seperti ini.

Titin juga demikian. Sebenarnya ia tahu kalau aku suka pada Umar. Tapi lagi-lagi ia tak peduli akan perasaanku. Katanya berkawan, tapi Umar tetap ia embat. Benar-benar musuh dalam selimut.

"Mengapa kamu masih bisa mendengar sampai detik ini?

Suara itu kembali membuyarkan lamunanku. Kalau ditanya sekarang aku mau saja tak mendengar. Rasanya begitu sakit dan perih. Apalagi bisikan hati ini yang semakin jelas terdengar. Kalau bukan karena takut dicap sebagai manusia kufur nikmat, sudah ku buang ini pendengaran.

"Jangan putus asa begitu, Uni. Takkan lari gunung di kejar," sapa Maria mencoba menghiburku. Sambil ia terus berjalan keluar kelas.

Aku kembali membuka catatan harianku. Semua tentang Umar kusimpan rapi dalam diari. Bila wakyunya tiba, akan kuserahkan catatan ini padanya. Agar ia tahu isi hatiku yang sebenarnya. Akankah terwujud?

Entahlah!

"Bagaimana caramu menjual pendengaranmu?"

Pertanyaan ini membuat aku tertegun dan sejenak berpikir. "Apa sebaiknya aku jual saja pendengaran ini? Berapa harga yang harus aku patok? Biar aku tak perlu lagi mendengar kata hatiku.

"Jangan, Uni. Masa' gara-gara Umar mau ngejual pendengaran? Uni, waras? Tanya cicak di dinding yang sedari tadi memperhatikanku.

"Kapan sebenernya kamu betul betul mendengar dengan hati?"

"Saat ini. Saat hati terasa diiris-iris dan disiram perasan air jeruk," ucapku lirih.

Tiba-tiba Titin masuk tanpa Umar. Aku melirik kemudian kembali menatap diari. Tampak ia berjalan ke arahku.

"Maafkan aku Nur"

"Maaf? Untuk apa? Tanyaku tanpa menatap.

"Aku tau kau begitu menyukai Umar. Namun saat ini Umar lebih memilih aku sebagai teman dekatnya", penjelasan Titin begitu tajam.

"Begini yang dinamakan teman. Menggunting dalam lipatan. Kau bilang kau kawan. Kawan yang siap mendengar keluh kesahku. Tapi sekarang apa?"

Suaraku semakin meninggi. Dada terasa semakin sesak. Butiran bening mulai menggenang. Akhirnya jatuh membasahi pipi.

Aku tak kuasa lagi. Aku masukkan diariku ke dalam tas. Kemudian pergi meninggalkan Titin yang masih duduk termangu. Aku bergegas keluar tak ingin mendengar penjelasannya.  Apalagi melihat mukanya.

"Apa saja sih yang sebaiknya kau dengar?" Suara itu selalu menguntitku. Tak peduli aku sedang galau dan risau.

"Tentunya hal-hal yang baik dan yg bermanfaat." Aku masih berusaha menjawab pertanyaannya. Walau sebenarnya hati ini terasa begitu hancur dan lebur.

Bagaimana tidak. Titin yang sudah ku anggap lebih dari saudara kandung, begitu tega mengkhianatiku.

"Berapa harga pendengaraanmu?"
"Aduh...harga pendengaranku ditanya lagi. Ngg bakalan kujual"

Aku sedikit emosi. Karena aku belum bisa berpikir jernih. Hatiku galau. Antara melepaskan dan memperjuangkan.

Mau dipertahankan ia seperti acuh tak acuh. Hanya Titin saja yang memberikan penjelasan. Sementara ia masih memberi harapan. Ia masih mengirim pesan sekali sehari. Setidaknya menanyakan sudah makan atau belum. Sudah salat atau belum.

"Apa hubungan antara pendengaranmu dan tulisanmu?"
"Dengan mendengar banyak hal yang bisa ditulis. Sehingga ide tak saja parkir apalagi mangkir."

Aku tak mau pendengaranku bernasib seperti pertemananku dengan Titin. Lain yang didengar lain pula yang diperbuat. Tak seiring sejalan. Konco arek lawan kareh. Incek cubadak bagomok (licik).

Jauh dalam lubuk hatiku, tak terbersit sedikitpun untuk bermusuhan dengan Titin. Namun ini masalah hati. Aku tak bisa berbohong.

"Lalu, apa  saja  yang akan kau katatan pada pendengaranmu?"
"Pendengaranku yang jenial. Mulai dari sekarang dan seterusnya aku akan menggunakanmu menjadi sumber inspirasiku. Apapun yang kau dengar akan aku jadikan sebuah tulisan. Dan akan aku sedekah pada pembaca yang selalu merindukan tulisanku."

Mulai hari ini dan seterusnya, setiap yang aku dengar akan aku tulis menjadi sebuah kisah inspiratif. Seperti kisahku dalam mendapatkan cintanya Umar. Takkan kubiarkan ia lepas begitu saja.

"Terakhir, apa nama terbaik untuk pendengaran berlianmu?"
"Jenial"

Ssssetttt

Suara itu pergi bersamaan dengan pertanyaan yang sedari tadi terus mengintrogasi pendengaranku. Begitu juga dengan rasa pertemananku dengan Titin.

Tinggallah aku bersama kegalauanku. Entah kapan akan berakhir dan berlalu. Aku sendiripun tak tau. Semakin kutepis rasa ini semakin menyiksaku.

#JW45
#Tanggadramatik
#Menulisitusedekah
#Menulisdenganbahagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar