Rabu, 12 Juni 2019

Air Ketuban Menghantam Lantai

"Air Ketuban Menghantam Lantai"
By Noer

"Kenapa dia belum juga pulang?" Tanya Pipit berkali-kali.

"Hmmm... "

Rasa khawatir mulai bersarang dalam kepala Pipit. Semenjak pagi ia menunggu kedatangan suaminya, sampai tengah malam begini belum juga ada tanda-tanda langkah mendekati teras rumahnya.

Pipit semakin bertanya-tanya dalam hati.

"Ayo tidur, Bu." Terdengar bisik mesra dari dalam rahimnya.

Pipit mengelus perutnya. Karena di rahimnya bersarang seorang pangeran kecil. Yang insyaallah akan menjadi penyemangat dalam hidupnya.

"Assalamu’alaikum..."

Terdengar di luar seseorang mengucap salam sambil mengetok pintu. Namun suara itu kurang jelas. Karena ditingkahi suara rintik hujan.

"Wa'alaikumussalaam." Sahut Pipit. Kemudian ia bangkit dari duduknya. Dan berdiri menuju pintu depan.

Meongggg
Meongggg

Suara kucing kesayangan pipit menghentikan langkahnya sejenak. Sepertinya ia berusaha menghalangi Pipit membuka pintu.

"Awas, ntar ke injak", seru Pipit. Karena ia terus menggosok-gosokkan badanya ke kaki pipit. Membuat langkah Pipit sedikit terganggu.

Sampai di depan pintu, Pipit menarik gagang pintu, dan pintu pun terbuka. Ternyata benar, orang yang berdiri di luar bukan suaminya. Tetapi adik laki-lakinya yang baru saja pulang dari lapau. Seketika wajah Pipit tampak kecewa.

Grrrr...
Grrrr...
Grrrr...

"Dingin." Sambil menyelonong masuk.

Sementara Pipit masih bengong berdiri di pintu. Ia longokkan kepalanya keluar, berharap suaminya menampakkan puncak hidungnya.

Duarrr...
Duarrr...

Suara petir terdengar menggelegar.

"Tutup pintu, Uni." Sorak adik Pipit dari dalam.

"Ya"

Pipit menutup pintu. Walau sebenarnya ia masih ingin menunggu kedatangan suaminya. Pipit semakin menyelam ke dalam kegalauan.

Ting tong
Ting tong

Suara notifikasi hp menyadarkan lamunan Pipit.

Pipit menarik nafas dan menghembuskan secara perlahan. Kemudian duduk di sofa sambil mengelus layar hp.

Sebuah pesan dari group SMA. Lagi-lagi pipit menelan ludah kekecewaan. Tampak Pipit tak bisa menahan diri lagi. Ia beranikan diri untuk menelpon.

Tut
Tut
Tut

Tak ada sambungan. Sepertinya nomor yang dituju tak bisa dihubungi. "Mungkin ada gangguan signal, karena di luar hujan." Pipit masih berpikiran positif.

Berbagai pertanyaan menghujam pikiran Pipit. Pipit terlihat semakin gelisah.

Pikirannya berkelana ke mana-mana.

Ia melukiskan isi hatinya di lantai sambil menggerak-gerakkan jempol kakinya.

"Kacauuu...!!!"

Pipit mulai kasak-kusuk. Mengira-ngira apa yang membuat suaminya belum juga pulang. Meraba-raba pertanyaan demi pertanyaan. Namun jawabannya tak kunjung ditemui.

"Hufff..."

Terdengar suara pasrah dari mulut Pipit. Seolah sangat menusuk-nusuk ulu hatinya.

Matanya mulai berkaca-kaca. Nafasnya sedikit tak beraturan.

Pipit terlihat kebingungan. Ia terperangah. Butiran bening mulai mengucur di sudut matanya. Tak sanggup lgi membendung air matanya yang menganak sungai.

"Kondisi bunting seperti ini, kau tega meninggalkanku", Pipit membatin.

Kabut di wajah Pipit perlahan semakin menebal.

Dia mulai tak bisa mengendalikan emosi.

Perut Pipit seakan ikut merasakan apa yang dirasakannya. Ada semacam reaksi yang dikirim bayi dalam kandungannya juga ikut meronta.

"Aduhhh..."

Ia menendang. Pipit meringis kesakitan.

"Kenapa, Kak?" Tanya adik bungsunya.

"Perut kakak sakit",

"Jangan, jangan...?"

"Maaaak, Kakak mau melahirkan", sorak adik bungsu Pipit.

=======

Di ruangan 3 x 4 meter, bercat putih dan gorden berwarna hijau, perjuangan pipit bersama pangerannya berhasil.

Oeeek
Oeeek
Oeeek

....
....
....

#JeWe45
#bahagiadenganmenulis
#menulisitusedekah
#virusbahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar