Minggu, 29 Desember 2019

Panci Kematian





Kita terlahir dengan satu cara. Namun, kematian menjemput dengan berbagai cara. Sudahkah kita siap?

Sajadah warna biru dan sandal menjadi barang bukti kepergian sahabatku. Subuh kelam yang mencekam merupakan hari terakhir bagi dia. Lantunan ayat suci yang diperdengarkan dari mesjid terdekat pertanda akan dijemputnya titipanNya.

Subuh kali ini dinginnya begitu menggigit. Rintik hujan belum mempakkan kebosanannya. Sedari senja hingga subuh ini masih saja setia membasahi bumi.

Paksu yang mau berangkat ke pasar terpaksa menerobos rintik hujan dengan pakaian lengkap mantel.

Setelah paksu hilang dari pandangan, aku mulai melanjutkan peperangan. Baju anti gores siap dikenakan. Dan sehelai kain lap menggantung di bahu.

"Aku duluan," teriak sapu ijuk dari belakang pintu.

"Kamu ntar aja. Aku duluan," sorak piring kotor dari dapur.

"Aku aja, Uni. Aku udah semalam berendam," sorak pakaian dalam ember.

Aku
Aku
Aku

Semua pada ribut. Aku harus segera ambil keputusan. Sebelum genderang perang ditabuh oleh seisi rumah.

"Tenang sobat. Semua akan dapat bagian. Kalian adalah bagian terpenting dalam hidupku." Ucapku sedikit ngerayu.

Notifikasi gawai terdengar sahut menyahut. Sambil mengambil sapu aku usap gawai dengan lembut. Sebuah pesan masuk di salah satu group wa. Gambar bencana tanah amblas. Sepertinya lokasi tak jauh dari rumah.

Kukembalikan gawai ke tempat semula. Kemudian memulai serangan dari ruang depan dengan senjata sapu ijuk. Sobekan kertas, gelas kotor bekas minuman si dedek, mainan, dan sampah puntung rokok aku ekspor ke ruang dapur. Sofa dan meja sekalian dibelai dengan kemoceng. Kemudian baru berpindah ke lantai dengan menggunakan trik goyangan sapu-sapu.

Lalu, ke ruangan tengah. Di sini medannya lebih berat lagi. Selain ruangan keluarga juga sekaligus ruang makan. Perkakas lebih komplit di sini. Meja belajar, alat tulis, mainan sidedek, makanan, dan yang lainnya ikut bertebaran. Semua minta dibelai. Resiko jadi emak-emak.

Selesai ruang tengah, aku harus ambil nafas sejenak. Karena sebentar lagi peperangan yang sebenarnya bakal dimulai. Eksekusi ruang dapur dan kamar mandi.

Di sini, senjata harus diganti. Spoon cuci piring, abu gosok dan sebotol sunlight siap melancarkan aksi.

Satu persatu piring kotor mulai di eksekusi. Senyuman peralatan makan tampak sumringah. Bersih dan kinclong tentunya. Berkat siapa? Berkat kerja sama spoon dan cairan sunlight.

"Aku dilupain nih," protes air kran.

"Ya ya, berkat kamu juga."

"Gitu dong. Jangan seperti kacang lupa kulitnya. Atau habis manis sepah dibuang."

He ... he ...

Dengan perlahan pekerjaan rumah hampir finis. Kini saatnya nyonya rumah bersih-bersih diri. Tak menghabiskan waktu sepuluh menit, proses mempercantik diri di kamar mandi selesai.

Rintik hujan masih saja setia membasahi bumi. Pakaian yangg sudah dicuci terpaksa di tahan dulu untuk dijemur. Sambil menunggu hujan reda, gawai melambaikam tangan untuk dibelai.

Saat membuka chatt di salah satu group, sebuah pertanyaan jenial menamparku berkali-kali. Aku terpana. Dan mencoba merenung sebelum menjawabya.

Hening ...

Lalu mencoba menjawab dengan ikhlas dan jujur.

"Apa warna kematianmu?"
Berharap agar kematianku nanti berwarna pink. Agar saat kembali kepadaNya dalam keadaan husnul khotimah. Dan bekal yang dibawa sudah mencukupi untuk kembali ke kampung abadi..

"Mengapa Allah menjanjikan kematian untukmu?"
Sesuai dengan janjiNya, bahwa setiap yang bernyawa pasti mati. Begitu Allah memberitahu dalam kitabNya. Tak bisa ditunda walau semenit ataupun dipercepat. Kapan dan di mana? Masih menjadi rahasiNya. Tak seorang pun yang dapat mengetahuinya.

"Bisakah engkau jual kematianmu?"
Tentu tidak. Karena kematian adalah janji pastinya Allah pada makhluk hidup. Terutama pada manusia.

Seperti berita yang dikabari PakSu pagi ini. Seorang sahabatku menjumpai sang khalikNya dengan cara tak biasa. Lobang yang terbentuk oleh gerusan saluran air telah menghantarkannya kembali kepadaNya. Alfatihah untuk sobat pengajianku. Moga surga menjadi tempat kembalimu.

"Berapa harga kematianmu?"
Pertanyaan yang satu ini sungguh menyulitkan. Tak bisa diuangkan memang. Aku mau harga kematianku setara dengan surgaNya. Imbalannya adah surga dan berkumpul bersama orang-orang yang beriman.

"Sudah siapkah engkau menanti hari kematianmu?"
Kematian bila telah menghampiri tak perlu menunggu siap atau belum. Namun, seorang mukmin sudah seyogyanya kita harus selalu mengingat kematian. Agar selalu mendekatkan diri pada sang pencipta. Dengan cara memperbanyak ibadah kepadaNya.

Bekerjalah untuk duniamu, jangan lupa akhiratmu!

#JeWe60
#jeniuswriting
#menulisitusedekah
#virusbahagia

2 komentar: